Selasa, 03 Mei 2011

Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Proses Hukumnya


KATA PENGANTAR


Dengan menyebut asma Allah Swt yang maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan hanya kepada Allahlah seyogyanya penulis memanjatkan puja dan puji syukur sebab hanya dengan limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-nyalah penulis dapat menyelsaikan dan mewujudkan penulisan Resume yang berjudul Kekerasan “ Dalam Rumah Tangga Dan Peroses Hukumnya “.
Penulis ucapkan rasa terimakasih kepada yang terhormat : Bapak Abdul Muhid, SH.,MH selaku Dosen pengampu mata Kuliah Hukum dan HAM pada Universitas Gunung Rinjani yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam rangka penulisan Resume ini dan Kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penulisan ini penulis ucapkan rasa hormat dan terimakasih yang tiada kira, semoga amal ibadah kita semua diterima disisinya. Amin
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Resume ini sangat jauh dari sempurna, bahkan disana-sini masih banyak kesalahan dan kekurangan baik dari segi materi maupun pembahasanya. Oleh karena itu penulis dengan segala rendah hati tetap mengharapkan dan selalu bersifat terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun.
Akhirnya kepada Allah jualah penulis berdoa’a berserah diri semoga amal dan jasa yang telah membantu penulis mendapat tempat yang mulia dan layak disisi Allah. Amin Yaa Rabbal Alamin.

Dasan Dewa, 22 Maret 2011


L. DIAN WALIYULLAH EKA PUTRA SAPRUDIN
 NPM : 35051555FH10



BAB I
PENDAHULUAN
A. HAK ASASI MANUSIA ( HAM )
            HAM ( human rights ) yang secara universal dartikan sebagai “ those rights which are inherent in our nature and without which we can not live as human being “ oleh masyarakat dunia, perumusan dan pengakuannya telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang sangat panjang. Bahkan sapai saat ini pun hal tersebut masih berlangsung, dengan pelbagai dimensi permasalahan yang muncul karena pelbagai spekturum penafsiran yang terkait didalamnya.
            Dimulai dengan piagam PBB yang memandang betapa pentingnya HAM dalam rangka mempromosikan kemajuan masyarakat dan standar kehidupan yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas ( to promote social progress and better standards or life in large freedom ), bangsa-bangsa di dunia melalui PBB telah mengumumkan Deklarasi tentang HAM ( Universal Declaration of Human Rihts ) pada tahun 1948. Selanjutnya pada tahun 1966 muncul International Bill of Human Rights yang lain sebagai kelengkapan deklarasi tersebut yakni :
  1. International Covernant on Economic Social and Culture Rights.
  2. International Convernant on Civil and political Rights.
  3. Optional protocol to the International Convernant on Civil and Political Rights.
Di samping itu, dokumen internasional tentang HAM dapat pula ditemukan dalam pelbagai dokumen internasional, baik dalam bentik perjanjian internasional, pelbagai standar, model perjanjian ( Model treaty ), pedoman ( guidelines ) dan lain-lain yang dikoordinasikan perumusanya oleh PBB ( Unaited Nations ).

B. HAM DI INDONESIA
            Manusia dianugrahi oleh tuhan yang maha esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nurani itu, maka manusia memiliki kenenasan untuk memutuskan sendiri perilaku dan perbuatannya.
            Sejalan dengan pandangan diatas, Pancasila sebagai dasar Negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan yang maha esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas ( pribadi ) dan aspek sosialitas ( bermasyarakat ). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang harus dibatasi oleh Hak Azasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajibab mengakui dan menghormati hak azasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun terutama Negara dan pemerintah. Dengan demikian, Negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak azasi manusia setiap warga Negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.
            Kewajiban menghormati hak azasi manusia tersebut tercermin.dalam pembuakaan Undang-undang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga Negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak , kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agamanya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.















BAB II
PEMBAHASAN
KEKERASN DALAM RUMAH TANGGA DAN PROSES HUKUMNYA


A. Kekerasan Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga.
Berita tentang suami yang menyiksa istri dan anak, ibu yang membakar anaknya,  atau bahkan seorang ayah yang tega membunuh anggota keluarganya menjadi berita yang sering kita dengar belakangan ini. Tentu, sebagai manusia yang masih bisa berpikir jernih, kita akan terheran-heran ketika mengetahui tindakan dari para pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bagaimana mungkin seorang suami tega membunuh istrinya? Begitu tegakah seorang ibu untuk membakar anaknya? Di tengah-tengah kemajuan peradaban yang sedemikian pesat, ternyata masih ada juga segelintir orang yang tetap berlaku barbar, bahkan terhadap anggota keluarganya sendiri.
Untunglah kita sebagai masyarakat Indonesia telah memiliki produk hukum yang akan melindungi korban KDRT dan menindak para pelakunya. Pada tahun 2004, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU 23/3004) .
Isu utama yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang ini adalah hak asasi manusia, karena seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, atau yang bisa diterjemahkan secara bebas menjadi “Tidak seorang pun boleh dikenai penganiayaan atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat”. Potongan kalimat dari pasal tersebut, yaitu “tidak seorang pun” sebenarnya telah mencakup seluruh individu di muka bumi, tanpa memandang anak, dewasa, perempuan, ataupun lelaki.

B. Tinjauan Dari Aspek Yuridis
Hukum positif Indonesia sendiri telah menegaskannya dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia (UU 39/1999), khususnya dalam pasal 33 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.” Tetapi dalam konteks KDRT, subyek yang dilindungi adalah perempuan, yang dapat dilihat dari pengertian atas KDRT dalam UU 23/2004 yaitu “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” Karena berdasarkan konsiderans DPR pada saat itu, perempuan adalah subyek yang paling sering menjadi korban dari KDRT.
Namun urusan KDRT adalah sebuah hal yang kompleks dan urusan proses hukumnya tak semudah tindak pidana biasa. Karena melibatkan anggota keluarga, maka KDRT seringkali ditutup-tutupi demi menjaga nama baik keluarga, apalagi budaya Indonesia memang terbiasa untuk tidak terlalu transparan dalam urusan rumah tangga. Sang istri yang menjadi korban dari KDRT akan berusaha menutupi tindakan yang telah dilakukan suaminya dengan alasan untuk menghindari rasa malu dan cibiran masyarakat. Apalagi jika sang suami memang berasal dari keluarga yang cukup terpandang di kelompok masyarakatnya. Agar hal itu tak terus menerus terjadi, UU 23/2004 memberikan izin kepada anggota keluarga lain dan masyarakat untuk pro-aktif dan berperan serta dalam mencegah terjadinya KDRT di lingkungannya. Legitimasi ini dapat dilihat secara lebih terperinci di pasal 15.
Meski UU 23/2004 telah melibatkan masyarakat dalam proses pencegahan KDRT, namun sayangnya, undang-undang ini menjadikan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang tercantum dalam pasal 5 sebagai delik aduan. Dengan kata lain, pihak kepolisian hanya akan menyelidiki dan menyidik kasus KDRT apabila ada laporan dari yang korban yang mengalami KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, maka partisipasi aktif anggota keluarga lain dan masyarakat hanya sebatas pencegahan saja, dan tidak bisa memberikan laporan pada polisi. Padahal, seperti yang telah saya jelaskan, istri seringkali terlalu takut untuk melaporkan suaminya pada polisi. Bahkan kalaupun sudah dilaporkan, maka mereka akan mudah sekali untuk ditekan supaya mencabut laporannya, yang akan mengakibatkan pihak Kepolisian tidak bisa lagi melakukan penyidikan.
Titik lemah inilah yang seharusnya segera diperbaiki, agar permasalahan KDRT dapat dicegah dengan lebih baik. Lalu kalaupun KDRT sudah kadung terjadi, maka proses penyidikan dapat terus berjalan tanpa harus menunggu keberanian dari korban (yang sudah sangat shock) dan menghindari si pelaku yang ingin menekan korban agar mencabut laporannya. Semoga kekerasan, khususnya KDRT, tak menjadi budaya Indonesia layaknya korupsi.
Pelaporan dan Prosedur Hukum KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga. Dan terhadap kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga tersebut, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berikut dibawah ini merupakan prosedur pelaporan terhadap kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, yakni :
Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian (ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian), baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara.
Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik ditempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orangtua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan.
Korban atau keluarga dapat juga meminta bantuan dari relawan pendamping (Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang perempuan dan anak), advokat, pekerja sosial, untuk mendampingi korban melaporkan ke pihak kepolisian.
Terhadap pelaporan yang dilakukan maka dalam waktu 1x24 jam, pihak kepolisian wajib memberikan perlindungan sementara kepada korban paling lama 7 (tujuh) hari dan wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Adapun cara pengajuan permohonan surat penetapan perintah perlindungan adalah sebagai berikut ini :
Permohonan dapat diajukan secara tertulis oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau pembimbing rohani kepada ketua pengadilan di wilayah kejadian berlangsung. Permohonan tersebut harus disetujui oleh korban. Namun dalam keadaan tertentu permohonan tersebut bisa diajukan tanpa persetujuan korban, dalam hal korban pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya.
Permohonan dapat diajukan secara lisan. Panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Dan permohonan perpanjangan ini diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.
Dalam memproses kasus kekerasan dalam rumah tangga ini, prosedur hukum yang dilakukan yakni melalui penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.  Korban dalam proses ini hanya berhubungan dengan penyidik yakni pihak kepolisian pada saat proses berita acara pemeriksaan, serta berhubungan dengan jaksa dan hakim pada saat pemeriksaan di pengadilan.
Pada umumnya tindak pidana dalam undang-undang PKDRT adalah delik umum, kecuali dalam ketentuan Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2) yakni perbuatan kekerasan fisik/psikis yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah delik aduan. Delik aduan disini yaitu korban KDRT yang harus melaporkan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kekerasan fisik/psikis terhadap isteri atau sebaliknya. Karena tanpa adanya laporan, pihak kepolisian tidak dapat memproses tindak pidana KDRT ini. Adapun akibat dari delik aduan ini, korban kekerasan dapat sewaktu-waktu mencabut laporan kepolisian. Oleh karenanya ketentuan ini mengakibatkan kasus-kasus KDRT yang terjadi tidak pernah selesai atau pelakunya tidak dapat dihukum sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan.














BAB III
ALUR PROSES HUKUM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)?
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Siapa saja yang bisa menjadi korban KDRT?
Suami, istri dan anak.
Orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf ( a ) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Apa saja bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga?
Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Kekerasan seksual, yang meliputi:
   Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga tersebut.
-     Pemaksaan hubungan  seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.


Penelantaran rumah tangga meliputi:
-     Menelantarkan kehidupan orang lain atau tidak memberikan perawatan atau pemeliharaan kepada orang lain dalam lingkup rumah tangganya.
-      Membatasi dan atau melarang untuk bekerja sehingga mengakibatkan ketergantungan ekonomi.
Apa yang harus dilakukan jika anda menjadi korban KDRT?
Segera laporkan ke pihak kepolisian dan akan lebih baik jika dilaporkan di tingkat POLRES ataupun POLDA karena pada kedua tingkat Kantor Kepolisian tersebut ada unit yang khusus yang menangani khusus kasus tersebut yakni unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yang anggotanya merupakan Polisi Wanita (Polwan);
Bagaimana Proses Pelaporan di Kepolisian?
Pembuatan Laporan Polisi
Pelapor/korban melaporkan kekerasan yang dialaminya ke Kantor Kepolisian di wilayah Tempat Kejadian Perkara (TKP), sebaiknya dilaporkan di tingkat POLRES karena sudah ada unit PPA
Pembuatan Visum Et Repertum
Polisi akan memberikan Surat Pengantar Visum ke Rumah Sakit yang ditunjuk;
Pemeriksaan korban/pelapor
Pemeriksaan korban dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang berisi kronologi kejadian.
Pemeriksaan saksi-saksi
Pemeriksaan saksi-saksi dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang berisi keterangan saksi yang mendukung keterangan korban
Pemeriksaan Tersangka
Apakah yang dilakukan kepolisian setelah pemeriksaan dianggap lengkap?
Apabila berkas penyidikan sudah dianggap lengkap maka polisi akan melimpahkan berkas ke kejaksaan. Jika Kejaksaan merasa berkas belum lengkap maka berkas dikembalikan ke polisi untuk melengkapi catatan-catatan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum. Jika berkas sudah  lengkap maka dinyatakan perkara sudah P-21; 
Penyusunan Surat Dakwaan Selanjutnya Jaksa Penuntut Umumu akan menyusun Surat Dakwaan berisi pasal-pasal yang didakwakan kepada Terdakwa atas perbuatan yang telah dilakukannya. Berkas Perkara dan Surat Dakwaan kemudian dilimpahkan ke Pengadilan untuk disidangkan. 
Bagaimana proses persidangan di Pengadilan berlangsung?
Proses persidangan di Pengadilan terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
Sidang Pembacaan Dakwaan
Merupakan sidang pertama di pengadilan dimana Jaksa Penuntut Umum mebacakan Surat Dakwaan dimuka persidangan
Sidang pemeriksaan korban
Korban memberikan keterangan dimuka persidangan sesuai pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum dan pengacara Terdakwa. Apabila berbeda dengan keterangan di BAP maka yang diakui oleh Pengadilan adalah keterangan dimuka persidangan;
Sidang pemeriksaan saksi-saksi
Saksi memberikan keterangan dimuka persidangan sesuai pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum dan pengacara Terdakwa. Apabila berbeda dengan keterangan di BAP maka yang diakui oleh Pengadilan adalah keterangan dimuka persidangan;
Sidang pemeriksaan Terdakwa
Korban memberikan keterangan dimuka persidangan sesuai pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum dan pengacara Terdakwa. Apabila berbeda dengan keterangan di BAP maka yang diakui oleh Pengadilan adalah keterangan dimuka persidangan;
Sidang pembacaan tuntutan
Tuntutan diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum berisi fakta-fakta persidangan, pasal yang dilanggar dan tuntutan hukum.
Sidang pembacaan pledoi/pembelaan
Pembelaan diajukan oleh Terdakwa atau pengacara Terdakwa sebagai tangkisan atas dalil-dalil Tuntutan Jaksa Penuntut Umum.


















Referensi

1.      Lalu Saprudin, S.H.,M.H ( 2000 ) Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu : Implemtasi Hak Asasi Manusia ( HAM ) Dalam Negara Hukum di Indonesia, Program Studi Magister ( S 2 ) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
2.      Salam Faisal. Moch, S.H.,MH. ( 2002 ) Peradilan HAM di Indonesia, Pustaka Bandung
3.      Buku Bimbingan Teknis Hukum dan HAM Kabupaten Lombok Timur ( 2005 ) oleh Bagian Hukum Sekertarian Daerah kabupaten Lombok Timur.
4.      Prof. DR. Bagir Manan, S.H.,MCL. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
5.      Undang – undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
6.      Jurnal Hukum ( JENTERA ) Hukum dan HAM bulan February 2004
7.      Institut ECATA ( 1997 ) Hak Asasi dalam Tajuk
8.      Kumpulan Karangan Ilmiah Alumni, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan tahun 1998
9.      R. Soesilo ( 1983 ) Kita Undang – Undan Hukum Pidana ( KUHP )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar